Ukraina mempunyai daftar permintaan baru persenjataan untuk melawan invasi Rusia kepada NATO.
Mereka berharap dipasok tambahan artileri roket jarak jauh, drone tempur dan rudal anti-kapal perang.
Setidaknya satu negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu telah memberikan komitmen bantuan untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ukraina sebenarnya sudah memiliki tiga jenis persenjataan itu tapi, seperti dikutip dari Defense News, versi NATO atau Amerika diyakini memiliki teknologi lebih maju dan lebih baik.
Ketiganya akan berdampingan dengan senjata lainnya yang sudah lebih dulu disediakan NATO, termasuk rudal anti-tank Javelin, roket anti-tank NLAW, howitzer M777 dan drone kamikaze Switchblade.
Berikut ini tiga jenis senjata dalam daftar permintaan terbaru Ukraina kepada NATO, 1.
High Mobility Artillery Rocket System (HIMARS) Sistem roket artileri mobilitas tinggi buatan Amerika Serikat ini berada di daftar teratas.
HIMARS terdiri dari sebuah truk berbobot lima ton untuk meluncurkan roket-roket diameter 227 milimeter.
Setiap unit HIMARS mengangkut enam roket berpenuntun GPS alias Guided Multiple Launch Rocket System (GMLRS) berdaya jangkau sampai 43 mil.
HIMARS dapat menakuti banyak artileri Rusia, menghujaninya dari jarak di luar jangkauan senjata dan peluncur roket Rusia.
Ukraina telah memiliki beragam sistem artileri roket, termasuk sistem roket 300 mm BM-30 Smerch.
Tapi, kebanyakan tak didukung teknologi penuntun GPS, dan kurang akurat dibandingkan howitzer.
Karenanya roket-roket itu biasanya dimodifikasi mengangkut bom yang lebih kecil atau bom klaster anti-tank.
Saat roket terbang di atas sasaran, dia akan menyebarkan bom-bom itu, menciptakan kerusakan di wilayah yang lebih luas.
Strategi seperti ini memicu kecaman global karena bom bisa menyasar warga sipil.
Sejauh ini, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden belum menyetujui pemenuhan atas permintaan terhadap persenjataan ini namun dilaporkan terus mempertimbangkannya.
2.
Drone serang MQ-1C Gray Eagle Ukraina juga menginginkan drone-drone serang yang bisa dipakai ulang.
Mereka sudah mengoperasikan armada kecil drone tempur TB-2 Bayraktar yang setiap unitnya mampu mengangkut bom berpenuntun atau cerdas.
Bayraktar terbukti efektif dalam menyerang konvoi suplai ataupun kendaraan militer pasukan Rusia, terutama saat mereka masih berada di dalam garis batas wilayahnya sendiri, tapi drone-drone milik NATO dipercaya bisa lebih efektif lagi.
Selain alasan stok drone TB-2 Bayraktar yang sudah menipis.
Amerika juga telah menyediakan drone-drone kamikaze Switchblade 300 dan 600, tapi ini juga senjata satu arah yang tidak didesain untuk bisa diterbangkan di lebih dari satu misi.
Jelas, Ukraina membutuhkan MQ-1C Gray Eagle milik Amerika Serikat.
Gray Eagle berukuran lebih besar, lebih cepat dan mengangkut muatan senjata yang lebih besar dan baik daripada Bayraktar.
Gray Eagle mampu terbang sampai 2.500 mil, atau 186 mil jika menggunakan navigasi satelit.
Bagi Amerika, drone ini menjadi platform pendukung pengoperasian helikopter AH-64 Apache sebagai pembuka jalan.
Gray Eagle dapat memuat sampai empat rudal anti-tank Hellfire, yang masing-masing berdaya jangkau hingga 6,8 mil.
Bandingkan dengan Bayraktar yang harus terbang jauh lebih dekat ke targetnya sebelum merilis bom-bom MAM-L yang dibawanya.
Penambahan kemampuan jangkauan serangan ini akan memungkinkan operator drone tempur Ukraina menggelar serangan dari jarak yang aman.
Ukraina telah meminta drone elang kelabu ini sejak akhir April lalu, dan bahkan telah berdiskusi dengan pabriknya, General Atomics.
Washington mungkin ragu mentransfernya karena pernyataan Rusia sebelumnya kalau drone-drone bersenjata seperti Predator, Reaper, dan Gray Eagle setara rudal jelajah, dan menyetujui permintaan Kyiv bisa membuka tuduhan bagi Amerika menyediakan rudal jelajah.
Transfer drone bersenjata juga diatur ketat di bawah Missile Technology Control Regime, sebuah kesepakatan internasional untuk mencegah proliferasi rudal jarak jauh.
Pemerintahan Donald Trump mengabaikan kesepakatan itu tapi tidak dengan Joe Biden.
3.
Rudal anti-kapal perang Harpoon Satu di antara kegagalan besar Rusia dalam invasinya ke Ukraina adalah tenggelamnya Moskva, kapal jelajah yang didukung peluru kendali serta menjadi kekuatan utama dari armada tempur di Laut Hitam.
Diduga kuat dua rudal Neptunus bikinan Ukraina yang ditembakkan dari truk di pantai di balik serangan yang menenggelamkan kapal perang hampir sepanjang 200 meter itu.
Neptunus adalah sistem rudal yang baru beroperasi akhir 2021.
Ukraina meminta lebih banyak rudal anti-kapal perang dari NATO yang memampukannya menyerang, menenggelamkan kapal perang Rusia yang memblokade pelabuhannya–termasuk menghalangi pengapalan bahan pangan ke negara-negara di dunia.
Atau setidaknya membuat kapal-kapal perang Rusia itu menjauh dan menjadikan keberadaannya tak relevan lagi.
Kandidat terkuat jatuh kepada rudal Harpoon bikinan Amerika dan diproduksi sejak akhir 1980-an.
Harpoon diluncurkan dari kapal perang via roket boster yang mengakselerasi kecepatan rudal sampai mesin turbin built-in rudal itu dapat mengambil alih.
Harpoon didesain terbang cukup rendah pada kecepatan subsonik untuk bisa menghindari deteksi radar, memiliki hulu ledak 250 kilogram, dan jangkauan lebih dari 67 mil.
Itu berguna untuk terbang melewati kapal dan pulau sahabat, dan mencegah musuh mendeteksi emisi radar rudal itu sampai menit-menit tearkhir.
Harpoon menggunakan radar yang ada di hidungnya untuk menemukan target yang dibidik.
Versinya yang lebih baru, Harpoon Block II, mendapat tambahan teknologi penuntun GPS guidance, anti jamming musuh, dan kemampuan menyerang ulang dengan cara rudal terbang memutar dan mencoba lagi jika dia kehilangan jejak kapal musuh.
Reuters melaporkan kalau Amerika mendukung permintaan akan senjata ini dan mencoba menemukan negara anggota NATO yang bisa memenuhinya.
Pada bulan lalu, Denmark mengajukan diri menyediakan satu truk berisi sistem rudal Harpoon.
Denmark adalah negara semenanjung di Laut Baltik dan memiliki persenjataan ini untuk alat pertahanan guna melindungi ratusan mil garis pantainya.
Namun, dengan Finlandia dan Swedia bergabung ke NATO dan memperkuat aliansi itu, kebutuhan pertahanan Baltik dianggapnya menjadi lebih ringan.
POPULAR MECHANICS, REUTERS, DEFENSE NEWS